Tuesday, May 19, 2020

Retensi (Retention) Ceding Company Berdasarkan Peraturan Perundangan di Indonesia

Jika secara teknis, retensi (retention) ceding company ditetapkan berdasarkan suatu jumlah dimana risiko tersebut dinilai sebagai kelas risiko yang terbaik (the best class of risk) maka terdapat aturan main lainnya berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Hierarki peraturan perundangan di Indonesia menempatkan Undang-Undang (UU) dan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sebagai sumber hukum tertinggi ketiga setelah UUD (Undang-Undang Dasar) dan Tap MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Maka untuk menggali tentang aturan main retensi perusahaan asuransi dari segi hukum setidaknya dapat dimulai dari level Undang-Undang yang dalam hal ini karena sudah lahir undang-undang khusus perasuransian, kita dapat mencarinya dari sana. Undang-undang yang dimaksud adalah UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pada Bab VII Pasal 36 UU No 40 Tahun 2014 disebutkan, “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri.” 

Dalam penjelasan Pasal 36 UU No 40 Tahun 2014 dijelaskan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk mendorong perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah agar benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penanggung dan/atau penanggung ulang. Sejauh ini, aturan undang-undang perasuransian hanya memberikan pernyataan secara normatif dan belum menyentuh aspek perhitungan secara angka.

Retensi Perusahaan Asuransi Berdasarkan POJK dan SEOJK    

Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hierarki hukum selanjutnya setelah Undang-Undang dan Perppu adalah PP (Peraturan Pemerintah) dan Perpres (Peraturan Presiden). Meskipun ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tidak menyebutkan Peraturan Menteri namun keberadaan Peraturan Menteri atau yang selevel dapat dijadikan sebagai salah satu peraturan hukum yang diakui keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan. Terkait dengan asuransi maka berdasarkan Pasal 91 UU No. 40 Tahun 2014 disyaratkan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) Nomor 14/POJK.05/2015

Sejak diterbitkannya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, lembaga yang satu ini memperoleh mandat untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan termasuk asuransi. Dengan demikian pengawasan industri asuransi yang semula berada di bawah kewenangan Bapepam-LK, Kementerian Keuangan, beralih ke OJK. Maka lembaga inilah yang kemudian memperoleh kewenangan sesuai UU No. 40 Tahun 2014 guna membuat peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut.

Salah satu peraturan yang telah diterbitkan oleh OJK adalah POJK No. 14/POJK.05/2015 tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri dimana dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib memiliki dan menerapkan retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai batas retensi sendiri itu diatur lebih lanjut dalam SE (Surat Edaran) OJK.

SEOJK (Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan) Nomor 31/SEOJK.05/2015

Tidak lama setelah dikeluarkannya POJK No. 14/POJK.05/2015, OJK mengeluarkan produk  turunan dari POJK tersebut melalui penerbitan SEOJK No. 31/SEOK.05/2015 tentang Batas Retensi Sendiri, Besar Dukungan Reasuransi, dan Laporan Program Reasuransi/Retrosesi.

Dalam SE tersebut barulah OJK menetapkan sejumlah aturan teknis tentang retensi sendiri ceding company dimana setiap perusahaan asuransi wajib memiliki dan menerapkan retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelolanya. Karena terdapat 2 (dua) jenis pengelolaan bisnis asuransi yaitu konvensional dan syariah maka OJK pun menerapkan peraturan batas retensi sendiri yang berbeda diantara keduanya melalui penyajian tabel masing-masing sesuai yang tercantum dalam Lampiran I SEOJK No. 31/SEOJK.05/2015.

Batas retensi sendiri perusahaan asuransi (ceding company) sebagaimana diatur dalam Lampiran I SEOJK No. 31/SEOJK.05/2015 mencantumkan baik batas minimumnya maupun batas maksimumnya. Faktor besarnya modal sendiri perusahaan asuransi sangat berpengaruh di sini karena batas retensi sendiri tersebut akan dihitung dari prosentase tertentu terhadap modal sendiri. Masing-masing lini usaha asuransi memiliki prosentase pengali yang berbeda-beda, misal pada lini usaha harta benda, batas minimum retensi sendiri ditetapkan sebesar 1,5% x Modal Sendiri (MS) untuk besar modal sendiri di bawah Rp 500 miliard. 

Berikut ini adalah contoh tabel batas retensi sendiri apabila suatu perusahaan asuransi (ceding company) memiliki modal sendiri sebesar Rp 300 miliard :
No
Lini
Usaha
Faktor
Pengali
Retensi Sendiri (Rp)
Batas Min.
Batas Max.
(i)
(ii)=
(i)x300 miliard
(iii)=
10%x300 miliard
1
Harta Benda
1,5%
4,5 miliard
30 miliard
2
KBM
-
150 juta
30 miliard
3
Pengangkutan
1,5%
4,5 miliard
30 miliard
4
Rangka Kapal
0.6%
1,8 miliard
30 miliard
5
Rangka Pesawat
0,375%
1,125 miliard
30 miliard
6
Satelit
0,075%
225 juta
30 miliard
7
Energi (Onshore)
1,5%
4,5 miliard
30 miliard
8
Energi (Offshore)
0,75%
2,25 miliard
30 miliard
9
Rekayasa
1,5%
4,5 miliard
30 miliard
10
Tanggung Gugat
-
750 juta
30 miliard
11
Kematian
-
150 juta
30 miliard
12
Kecelakaan Diri
-
150 juta
30 miliard
13
Kesehatan
-
150 juta
30 miliard
14
Kredit
-
750 juta
30 miliard
15
Suretyship
-
750 juta
30 miliard
16
Aneka
-
750 juta
30 miliard

retensi
Previous
« Prev Post

Related Posts

Retensi (Retention) Ceding Company Berdasarkan Peraturan Perundangan di Indonesia
4/ 5
Oleh